SINOPSIS FILM PERANG KOTA

Sebagaimana judulnya, Perang Kota yang mengadaptasi novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, menampilkan kota (tepatnya Jakarta tahun 1946) yang tengah dikoyak peperangan. Bangunan dibakar, orang-orang pun diburu, bahkan dijagal tanpa kenal ampun. Tapi di balik semua itu, peperangan lain tengah berkecamuk. Perang satu ini tidak kasatmata dan hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mengalaminya, karena ia pecah di dalam hati para penghuni kota tersebut.

Guru Isa (Chicco Jerikho) adalah pejuang kemerdekaan sekaligus pemain biola handal. Sedangkan istrinya, Fatimah (Ariel Tatum), piawai memainkan piano. Ketika Isa diam-diam menyusun rencana bersama organisasinya guna menghancurkan kekuasaan Belanda, Fatimah berjuang menghidupi anak mereka, Salim (Ar Barrani Lintang), di tengah kondisi perekonomian yang mencekik.

Naskah buatan sang sutradara, Mouly Surya, langsung menempatkan penonton ke tengah konflik yang memanas. Tanpa intro berkepanjangan atau perkenalan penuh basa-basi. Alhasil latarnya terasa hidup. Kita serasa memasuki dunia yang sudah berjalan sebelum cerita filmnya dimulai, lalu bakal terus berjalan, bahkan seusai proyektor dimatikan dan lampu studio kembali benderang.

Kali pertama kita menemui Guru Isa, ia sedang diam-diam mencuri buku milik sekolah demi membeli sedikit nasi untuk keluarganya. Kemudian ia mendatangi kediaman sesama pejuang. Hazil (Jerome Kurnia) namanya, putra Kamaruddin (Rukman Rosadi), seorang pejabat yang tidak ragu menjilat pihak penjajah. Di saat bersamaan, Fatimah mesti angkat senjata kala pasukan India mendadak menyerbu warung tempatnya berbelanja.

Muncul observasi mengenai peran gender yang menarik, tatkala sang istri bertempur di jalur fisik bersenjatakan senapan, sedangkan suaminya memainkan alat musik sembari mengatur taktik. Dinamika itu semakin kompleks kala kita mengetahui bahwa Isa tidak bisa ereksi. Pejuang tanpa rasa takut ini nyatanya sedang mempertanyakan maskulinitasnya, dan Chicco dengan tubuh kekarnya membuat pertanyaan tersebut semakin ironis.

ALUR CERITA FILM PERANG KOTA

Tapi Perang Kota bukan perayaan atas maskulinitas. Upaya “mengejar kejantanan” malah seperti dipandang konyol di sini. Pada satu kesempatan, Isa gagal mengeliminasi target akibat senapannya macet, yang turut melambangkan ketidakmampuan si protagonis “menembak” di atas ranjang.

Mungkin karena itulah, kala garis batas antara hidup dan mati semakin menipis pasca misi lain yang berujung kesuksesan di penghujung cerita, Isa nampak tenang. Dia merasa kejantanannya sudah kembali. Tapi apakah semuanya sepadan? Pasalnya, tanpa Isa sadari, justru Fatimah yang mesti menanggung setumpuk penderitaan. Sang istri yang harus melalui jalan tak ada ujung berupa ketidakpastian di masa depan.

REVIEW FILM PERANG KOTA

Musik beraroma noir garapan Yudhi Arfani dan Zeke Khaseli, juga sinematografi arahan Roy Lolang, mencuatkan keindahan presentasi audiovisual di antara peperangan yang jauh dari kesan cantik. Perang Kota bukanlah suguhan perang bombastis. Bila memerlukan komparasi, ia lebih mengingatkan ke judul-judul seperti Son of Saul (2015) yang mengutamakan studi karakter ketimbang lesatan peluru.

Rasio aspeknya pun serupa (4:3, berbanding 1.37 : 1 milik Son of Saul), yang bertujuan menggambarkan rasa terkekang yang tiap karakternya alami. Bukan hanya terkurung, perspektif mereka pun menyempit di tengah kalutnya pertikaian yang mengaburkan batas antara perjuangan bela negara dengan kejahatan biasa.

Misal sewaktu Isa mendapati sekelompok “pejuang” yang membantai seorang perempuan, karena meyakini ia merupakan mata-mata Belanda meski tanpa bukti memadai. Melalui Perang Kota, Mouly Surya coba mengingatkan bahwa aroma memuakkan peperangan acap kali dipakai untuk menyamarkan bau-bau lain yang diciptakan oleh kebusukan manusia.