SINOPSIS FILM PABRIK GULA

Pabrik Gula, yang merupakan remake dari cerita SimpleMan, mirip dengan Badarawuhi di Desa Penari tahun lalu, dengan beberapa peningkatan. Namun, kemiripannya kini lebih jelas, seolah-olah menunjukkan bahwa MD Pictures dan SimpleMan telah menemukan paket yang dapat diubah sesuai kebutuhan.

Sekelompok teman kita bertemu lagi di Pabrik Gula. Kami telah menetap di sebuah tempat asing untuk waktu yang lama tanpa mengetahui bahwa tempat itu memiliki kisah misterius. Namun, mereka bukan mahasiswa, tetapi karyawan. Selain itu, tempat yang dituju bukannya desa tempat KKN adalah pabrik gula.

Endah (diperankan oleh Asya Aurelia), Naning (diperankan oleh Erika Carlina), dan Wati (diperankan oleh Avi Zihan) tinggal di satu loji. Dalam hal pekerja laki-laki, Fadhil dimainkan oleh Arbani Yasiz, Hendra dimainkan oleh Bukie B. Mansyur, Dwi dimainkan oleh Arif Alfiansyah, dan Franky alias Mulyono dimainkan oleh Benictus Siregar. Semua orang dilarang meninggalkan fasilitas setelah pukul 9 malam, tepatnya setelah alarm “jam merah” berbunyi. Teror mematikan dimulai saat pelanggaran terjadi.

Sebenarnya, Pabrik Gula tidak memiliki alur yang memadai. Beberapa topik yang mungkin membawa eksplorasi yang menarik, seperti mitologi tentang kerajaan iblis yang menguasai pabrik dengan berbagai jenis hantunya, dan elemen whodunit tentang “siapa sebenarnya yang melanggar aturan?”, hanya dibahas singkat. Selain itu, rutinitas pekerja sangat jarang terlihat, seperti KKN di Desa Penari, di mana tidak ada aktivitas KKN itu sendiri. Jika gula diganti dengan produk lain, tidak akan ada hasil yang signifikan.

ALUR CERITA FILM PABRIK GULA

Naskah Lele Laila kali ini tidak terlalu serius tentang diri sendiri. Serupa dengan istilah “pesta rakyat” yang digunakan untuk mempromosikan filmnya, Lele berusaha untuk membuat penonton bersenang-senang. Franky dan Dwi memainkan peran penting di sana. Benidictus Siregar dan Arif Alfiansyah, pasangan mati, menghantarkan komedi demi komedi dengan sangat mudah. Meskipun konsep terornya tidak terlalu inovatif, langkah-langkah keduanya mampu membantu Pabrik Gula mencapai tujuannya menjadi horor yang lebih “seru” daripada “ngeri”.

Dengan mengandalkan jumpscare, setidaknya penulisan Lele tidak lalai membangun jembatan, sehingga Pabrik Gula lebih terasa sebagai “film yang baik” daripada sekadar kompilasi teror dengan jahitan asal-asalan. Berbeda dengan KKN di Desa Penari. Selain itu, perhatian terhadap elemen seperti “pengikatan” dan “pembangunan” (termasuk adegan pembuka di mana para karakternya berinteraksi dengan bahagia) dapat membuat kesimpulan menjadi lebih pahit daripada efek tragedi.

REVIEW FILM PABRIK GULA

Sebaliknya, sutradara Awi Suryadi kembali menunjukkan eksplorasi teknis yang kuat. Hampir setiap kemunculan makhluk halus disertai dengan keterampilan teknis yang mengagumkan, seperti penggunaan efek komputer yang tepat, tata kamera, dan penyuntingan. Dibantu oleh tata kamera arahan Arfian, yang pernah bekerja sama dengannya dalam film Sebelum 7 Hari, Perewangan, Do You See What I See, dan Kisah Tanah Jawa: Pocong Gundul, Awi memoles filmnya supaya terlihat luar biasa melalui pilihan gambarnya.

Sekali lagi, Pabrik Gula mungkin tidak memiliki ide yang luar biasa. Namun, jumpscare-nya dilakukan dengan baik, dengan timing yang tepat, dan volumenya diatur dengan hati-hati sehingga tidak terdengar menjengkelkan. Di babak ketiga, Dewi Pakis, yang memerankan Mbah Jinnah sebagai salah satu dukun yang menjaga keamanan pabrik, menggila di tengah adegan ibadah. Ini menunjukkan bahwa Pabrik Gula sangat menghibur dan menjadi sebuah produksi horor besar-besaran.