SINOPSIS FILM JUMBO
Media animasi dianggap memiliki banyak stigma, salah satunya adalah dianggap sebagai “tontonan anak”. Ini sering disamakan dengan hiburan (super) ringan, seolah-olah anak-anak tidak mampu menikmati hiburan yang lebih “berat”. Jumbo tampak unik karena ia menolak untuk melihat penonton muda, membuatnya bersedia menghormatinya.
Ryan Adriandhy, sebagai sutradara, dan Widya Arifianti, yang menulis naskah, adalah pencerita yang luar biasa. Keduanya tahu bagaimana membuat berbagai topik bahasan berat menjadi menarik bagi anak-anak, tanpa menganggap mereka bodoh atau membuat masalah terlalu sederhana sampai mereka kehilangan berat badan.
Contohnya adalah keadaan keluarga Don (Prince Poetiray), karakter utama yang dijuluki “Jumbo” karena berat badannya. Peninggalan orang tua Don, buku dongeng Ariel Noah dan Bunga Citra Lestari, adalah barang paling berharga dalam hidupnya. Pada suatu hari, orang tuanya pergi dan tidak pernah kembali.
Kita mengetahui bahwa ibu dan ayah Don telah meninggal dunia. Dari ceritanya tentang kondisi jalan yang licin pada hari mereka pergi, terlihat bahwa Don memahaminya sendiri. Situasi ini jelas menyakitkan, tetapi Jumbo juga tidak ingin menggambarkan kematian sebagai sesuatu yang hanya dianggap “menyeramkan” sehingga tidak ada lagi ruang untuk diskusi. Akibatnya, kata “mati”, yang biasanya memiliki arti negatif, tidak disebutkan sama sekali. Apakah kematian menyebabkan penurunan berat badan? Itu tidak mungkin.
ALUR CERITA FILM JUMBO
Kami masih dapat merasakan kesedihan yang dialami Don, terutama rasa sepi yang sering menghantuinya. Don sering mendapat penolakan dari teman sekelasnya, terutama Atta (M. Adhiyat) yang suka mengejek. Ternyata Don masih memiliki dua sahabat, Nurman—diperankan oleh Yusuf Ozkan—dan Mae—diperankan oleh Graciella Abigail. Kemudian terjadi pertemuan dengan Meri, gadis kecil yang aneh—diperankan oleh Quinn Salman.
Siapa sebenarnya Meri? Dia memiliki banyak kemampuan ajaib, terbang, dan tidak dapat disentuh. Meri adalah roh yang masih hidup. Bodoh. Namun, Ryan dan tim lebih menyukai sisi magis karakter daripada menggambarkannya sebagai monster mengerikan. Meri lebih suka menyebut kondisinya sebagai “beristirahat dengan tenang” daripada “mati”.
Karena kematian juga merupakan bagian dari kehidupan, Jumbo tidak mengutamakan kengerian dalam presentasinya tentang dunia misterius. Menyediakan perspektif yang lebih positif bukankah lebih baik daripada mendoktrin anak-anak dengan ketakutan sejak dini?
Elemen misteriusnya memberikan dasar konflik yang cukup inovatif sebelum melanjutkan ke masalah yang relevan seperti penggusuran tanah, yang, sekali lagi, tidak terlalu sulit bagi penonton anak berkat departemen penulisan yang cerdik.
Pencapaian naskahnya tak berhenti di situ. Penokohan Don juga patut dipuji karena Jumbo menunjukkan bahwa pesan baik tidak selalu harus disampaikan dengan sempurna. Don memiliki banyak kekurangan, yang mengajarkan kita tentang pentingnya mengorbankan ego dan memenuhi janji. Ketidaksempurnaan yang dia miliki juga menjadikannya karakter yang wajar untuk anak kecil.
REVIEW FILM JUMBO
Selain itu, Prince Poetiray, yang belum mencapai usia sepuluh tahun saat mengisi suara Don, berkontribusi untuk menambah kompleksitas karakternya. Tidak hanya terdengar “angelic” saat bernyanyi, Prince juga memiliki banyak emosi dalam suaranya. Kadang-kadang ia bekerja dengan penuh tenaga, tetapi kadang-kadang ia terdengar lembut karena tersembunyi dalam perasaan atau pemikiran.
Kualitas Jumbo sebagai produk audiovisual juga luar biasa. Trio Laleilmanino menyanyikan lagu “Selalu Ada di Nadimu”, yang dibawakan oleh Bunga Citra Lestari, bukan hanya lagu yang mudah diingat tetapi juga dapat menyentuh hati. Namun, tingkat keterlibatannya membuat saya yakin bahwa sumber daya kita layak dibandingkan dengan negara-negara lain dari segi kemampuan.
Salah satu pemandangan favorit saya hadir saat kita diajak mengunjungi rumah Atta, yang tinggal bersama kakaknya, Acil (Angga Yunanda). Perhatikan bagaimana tambalan semen menutupi dinding rumah mereka. Bagi saya itu bukti kalau Ryan dan tim menaruh perhatian tinggi pada detail, termasuk tentang ketepatan dalam representasi.
Mereka boleh mengambil inspirasi dari karya luar negeri, baik judul-judul produksi Pixar maupun anime Jepang (saya mencium sedikit kecintaan untuk Akira), tapi Jumbo tetaplah suguhan yang khas Indonesia. “Cerita tidak akan jadi cerita tanpa pendengar”, ucap salah satu karakternya. Ryan dan tim telah mendengar cerita dan keluh kesah kita mengenai minimnya animasi Indonesia di bioskop. Sekarang waktunya kita dengarkan cerita yang mereka sampaikan dengan hati dalam Jumbo.